smartgeografi.com-Dalam kebingungan dan kepanikan ini, aku terperangkap dalam diskusi yang belum sampai pada penyelesaian masalah, masalah yang besar dan mempertaruhkan masa depan perusahaanku ini. “Pak, apa yang seharusnya kita lakukan?”, tanya Syeila sekretarisku. “Kalau hal ini dibiarkan terus menerus bisa gawat jadinya”, seru Pak Gustowo, staf kepercayaanku. “Bagaimana kalau kita bicarakan baik-baik dengan mereka, mungkin saja masalah ini dapat terselesaikan dengan mudah”, usul stafku yang lainya. “Sudah cukup! Panggil keamanan untuk membubarkan massa, dan Syeila tolong siapkan mobil, saya ingin kembali ke Jakarta untuk mendiskusikan masalah ini”. “Maaf Pak Direktur, tapi masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan cara seperti itu, kita harus berbicara kepada para masyarakat agar mereka percaya kepada kita bahwa kita akan memenuhi apa yang mereka inginkan”, sergah Gustowo. “Saya mengerti seberapa besar masalah ini menerpa kita, jika kita salah langkah, maka perusahaan ini akan ditutup. Tapi saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menghadapi mereka, saya akan mempersiapkan strategi yang jitu agar perusahaan ini selamat”. “Baiklah Pak direktur, saya akan menyiapkan mobil untuk bapak, dan memanggil polisi untuk menenangkan para warga”, turut Syeila.
     Mobil fortuner hitam sudah siap sedia untuk membawaku kembali dari Subang ke Jakarta. Dari balik kaca gelap ini, aku bisa melihat jelas ekspresi para masyarakat yang sangat marah dan dan kesal, dengan megeluarkan semua kata-kata kasar dan cemoohan yang secara bertubi-tubi dan menggila mereka luncurkan kepada ku.
     Pusing masih terasa di kepalaku, memikirkan bagaimana cara keluar dari permasalahan ini. Tidak ku sangka mereka merasa terganggu dengan pabrikku ini, memang salah kami apa?, sampai mereka seperti itu, mengapa mereka tidak pindah tempat tinggal saja dari desa itu, kalau perlu aku beli saja desa itu dan kujadikan lahan baru untuk kujadikan pabrik besar yang berkualitas. ”Hahahaha”, itu dia ide yang sangat bagus untuk memecahkan masalah ini.
     Sudah dua jam perjalanan menuruni pegunungan yang terjal diterpa hujan besar yang semakin lama semakin besar, hampir menutup jarak pandang ku dan Pak Aryo supir ku ini membuat kumerinding ketakutan takut ada hal yang tak diinginkan terjadi. Jalanan berbatu dan tikungan tajam yang ekstrim ini membuatku semakin takut dan sangat takut jika terjadi apa-apa dengan kami. Dan benar saja saat tikungan terjal yang akan kami lewati tiba-tiba terjadi longsoran parah secara mendadak, pak Aryo terkejut dan panik melihat longsoran tersebut, tanpa disengaja Pak Aryo malah menginjak pedal gas yang membuat mobil semakin cepat dan terlempar jatuh kebawah tebing setinggi empat meter ini dan membawa ku kedalam kenyataan yang tak pernah ku bayangkan akan terjadi dalam kehidupan ku ini.
     “Aww..aduh perih..pak Aryo?, pak Aryo?! Bapak dimana? Pak Aryo selamat kan?”, teriak ku sambil menahan sakit dan perih karena terpental jauh dari mobil. Sambil menahan rasa sakit, aku mencoba merangkak menuju mobil yang sudah setengah hancur berkeping-keping mencari pak Aryo. Dengan jarak pandang yang kurang jelas ditambah derasnya hujan membuatku susah sekali untuk mencari keberadaan pak Aryo. Kepalaku sakit sekali seperti sedang dipukuli dengan balok terus-menerus dan pandanganku semakin lama semakin buyar dan akhirnya akupun tidak sadarkan diri.
     Tetesan air mengenai wajahku dan membawaku kembali dalam kesadaran. Kesadaranku belum sepenuhnya kembali, dengan refleks aku menyentuh kepalaku dan mendapati ada dedaunan aneh yang melingkar kuat diatas kepalaku. Sambil menahan perih aku berusaha membuka mata dan mencoba melihat keadaan sekeliling. “Jangan memaksakan diri, lebih baik sekarang kau istirahat sampai luka kau itu tertutup dan stamina kau terisi sepenuhnya”, suara seseorang tiba-tiba mengagetkanku sambil menyodorkan buah kelapa muda yang segar. “Silahkan diminum, agar kau tidak dehidrasi”. Perlahan-lahan air kelapa muda itu masuk kedalam tenggorokanku melepas dahaga dan meluluhkan sakit kepala yang sedari tadi terus berdenyut seakan otakku ini ingin menerobos keluar dari dalam kepalaku. Setelah dahaga ini telah terpuaskan, aku pun langsung bertanya kepada orang itu dengan suara yang agak serak namun terdengar jelas. “Siapa anda?,dimana ini?”, jawab orang itu. “Aku Anak Hutan, sekarang kita sedang berada dirumah pohon buatanku, lebih baik kau istirahatlah dahulu sampai luka kau itu tertutup sepenuhnya”. ”Apa maksudmu Anak Hutan?, itu benar-benar sebuah nama?”, tanyaku lagi merasa heran dengan nama dan logat berbicara orang tersebut. “Iya Anak Hutan adalah namaku, apa itu masalah buat kau?”. ”Oh ternyata itu memang namamu, tapi dilihat secara fisik, kamu sudah tidak pantas lagi dipanggil anak-anak, kalau begitu perkenalkan nama saya Okto Artamadja, panggil saja saya Okto”. ”Okto, nama yang bagus, senang berjumpa dengan kau”. ”Ya senang bertemu dengan  mu Anak Hutan, ya ampun, hei Anak Hutan, apakau melihat supirku?, dia, apa dia selamat?”, tanyaku panik takut terjadi apa-apa dengan Pak Aryo. ”Teman mu yang seorang lagi lukanya lebih parah dari apa yang kau derita, makanya dia langsung dibawa ke kota untuk segera diselamatkan”, terang Anak Hutan kepadaku yang sedikit membuatku lega. ”Hmm, tapi mengapa kamu tidak sekaligus membawaku ke kota?, mengapa aku ditinggalkan disini?”, tanyaku dengan nada suara yang agak tinggi. ”Itu karena dua orang temanku yang tadi bersamaku disini hanya menggunakan sebuah motor, jadi terpaksa teman kau sajalah yang segera dibawa ke kota karena kondisinya yang sangat parah”, Jawaban yang logis dari Anak Hutan. ” Apa kau keberatan dengan hal itu?”, tanyanya kepadaku. ”Baiklah aku bisa memaklumi itu, tapi aku tidak bisa berlama-lama diam ditengah hutan seperti ini, aku harus segera kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan pekerjaanku”, Jawabku menerangkan. ”Apa kau yakin ingin segera pergi ke kota?”. ”Ya tentu saja aku ingin segera meninggalkan tempat berbahaya ini”. ”Baiklah kalau kau mau, tapi kau harus sabar ya”. ”Sabar?, memangnya kenapa?”, tanyaku penasaran. “Soalnya kendaraan yang akan melewati jalan disekitar sini baru akan datang dua minggu lagi, jadi kita harus menunggu sampai kendaraan itu datang menjemput kita”, jelasnya dengan tenang. ”Apa?! dua minggu?, tidak bisakah kita pergi ke kota sesegera mungkin?”, tanyaku dengan agak sedikit kesal. “Kau tenang dulu, jika kau ingin segera pergi ke kota, maka ada cara alternatif tercepat agar kita bisa sampai kesana hanya dalam waktu tiga hari saja”. “bagaimana kalau kita akan mulai jalan ketika matahari sudah terbit, lebih baik sekarang kau istirahat dan memulihkan tenaga kau untuk persiapan besok”, Anak Hutan meneruskan. ”Baiklah kalau begitu, aku akan ikut rencanamu, asalkan bisa sampai kekota dengan cepat, apapun tidak masalah”, turutku sedikit senang. ”Okto, kau bisa tidur di antara akar pepohonan itu, akar itu tempat yang bagus untuk kau beristirahat agar luka kau itu terjaga dengan aman dan bisa segera sembuh”, kata Anak Hutan yang sangat perhatian dengan lukaku ini. ”huahh, baiklah Anak Hutan, selamat malam”, ucapku setengah ngantuk.
     “Okto, bangun okto, matahari sudah terbit”, sayup-sayup terdengar suara Anak Hutan membangunkanku. ”Hmppuahh, aku sudah bangun”, Jawabku setengah mengantuk. ”Silahkan kau minum ini dulu agar luka kau bisa segera pulih”, kata Anak Hutan sambil menyodorkan sesuatu kepadaku. ”Air apa ini?”, tanya ku penasaran. ”Ini namanya Bratawali, tumbuhan merayap yang ada di batang pohon ini, batangnya sudahku rebus dan airnya ini bisa kau minum, tapi pelan-pelan saja karena rasanya pahit”, jelas Anak Hutan kepadaku. ”Uwh, aku tidak mau meminum air aneh ini”, bantahku jijik. ”Cepat saja kau minum, kalau tidak kau minum, aku tidak akan mengantarkan kau pergi ke kota”, ancam Anak Hutan. ”Oke-oke, baiklah aku minum air ini”. Benar-benar, rasanya pahit sekali, aku tidak kuat untuk menghabiskan semuanya, tapi tatapan tajam  Anak Hutan yang mengarah padaku memaksaku untuk meminum semuanya hingga habis tak tersisa.
     Penampakan pagi dipedalaman hutan sungguh menakjubkan, kabut tipis tertembus sinar mentari yang baru menampakan cahayanya sangat indah dipandang mata, suara kicauan burung berpadu merdu mengindahkan suasana hati yang sedang kalut, tetesan embun pagi memantulkan sinar mentari tampak berkilauan layaknya berlian yang mengkilap, dan suasana serba hijau segar seraya menjernihkan segala pikiran yang sedang ditempa masalah.
     Disaatku sedang takjub dalam keindahan itu, terdengar suatu suara yang mengembalikanku dari ketakjuban itu. Ternyata itu suara Anak Hutan dengan goloknya yang sedang  memotong - motong batang pisang, entah untuk apa dia melakukan itu, lebih baik aku sedikit melakukan pemanasan terlebih dahulu agar badan ini mudah untuk digerakkan, apalagi aku dan Anak Hutan akan berjalan menuruni gunung dan menelusuri hutan lebat ini untuk sampai ke kota.
     Lumayan sakit juga menggerakkan tubuh dengan banyak luka seperti ini, apa lebih baik aku tidak jadi saja ya melakukan perjalanan ini dan menunggu sampai jemputan kami datang. Tidak, lebih baik aku berjalan dari pada berlama-lama dihutan yang banyak serangga dan lembab ini.
     Aku berbaring sejenak untuk merenggangkan tubuhku, tiba-tiba Anak Hutan memberikan ku sesuatu dan berkata,“Okto, makanlah ini”. ”Memangnya ini makanan apa Anak Hutan?”, tanyaku penasaran. ”Ini batang pohon pisang, tapi yang dimakan hanya bagian yang berwarna putihnya saja”, terang Anak Hutan. ”Apa! batang pohon pisang?, aku tidak bisa memakan ini, lebih baik aku kelaparan dari pada aku memakan makanan menjijikan itu”, bantahku angkuh. ”Jadi kau tidak mau makan ini?, baiklah kalau begitu kita tidak jadi berjalan ke kota”, ancam Anak Hutan. ”Baiklah-baiklah, aku akan memakan ini”. Perlahan-lahan aku melahapnya, rasanya sangat natural dan sama sekali tidak ada kenikmatan dari memakan  batang pohon pisang ini.
     Setelah menyantap batang pohon pisang yang menjijikan itu, kami pun bersiap-siap untuk melakukan perjalanan menuju kota. Anak Hutan dengan kaos coklat lusuh bernodakan tanah memanggul kain putih berisi benda-benda yang entah apa yang akan dia lakukan dengan benda-benda itu, terlihat siap dan mantap untuk melakukan perjalanann ini. Sedangkan aku, hanya dengan stelan kantoran kusam dengan noda darah dan tanah, serta kepala dan tangan yang banyak terdapat goresan luka terbaluti daun yang entah daun apa ini, sangat terlihat menyedihkan dan tak sanggup jika harus berjalan menelusuri gunung dan hutan belukar yang takkan bisa kompromi dengan orang kota sepertiku ini.
     Perlahan-lahan aku menuruni potongan kayu yang mirip fungsinya seperti tangga dengan dibantu oleh Anak Hutan. Setelah sampai ditanah, anak hutan memberikan instruksi kepadaku, “Okto, saat berjalan nanti yang pertama harus kau perhatikan adalah, jangan merusak ranting-ranting atau pepohonan yang ada dihutan ini, kedua, kau jangan membuat suara gaduh, ketiga, jika nanti ada hewan apapun, jangan berusaha mengusiknya, dan yang terakhir, kau harus selalu berada didekatku dan tidak boleh lepas dari pengawasanku, karena hutan ini sangat berbahaya, dapat kau pahami kan?”. ”Tentu saja aku mengerti, sudahlah, ayo kita lekas berjalan, aku tidak mau berlama-lama di tempat ini”, jawabku malas.
      Perjalanan pun dimulai, Anak Hutan memimpin didepan dan sesekali menolehkan pandangannya ke arahku untuk memastikan bahwa aku tidak tertinggal dan melanggar peringatan yang dijelaskan Anak Hutan kepadaku tadi. Banyak sekali tumbuhan aneh yang belum pernahku lihat sebelumnya. Salah satu tumbuhan itu ada yang berwarna merah dan terlihat seperti sebuah kantung atau sebuah mulut yang mungkin jika aku masukan tanganku kedalamnya, maka tanganku akan segera dilahap habis oleh tumbuhan itu.
     ” Anak Hutan, aku haus sekali, apa ada yang bisa kita minum?”, Kataku sambil memegang tengorokan. ”Coba kau lihat tumbuhan yang berwarna merah itu, namanya kantung semar, kantung semar bisa kita jadikan sebagai minuman karena PH-nya netral dan belum terkontaminasi oleh jasad serangga yang dapat membuat air didalamnya menjadi asam”, jelas Anak Hutan. ”Benarkah itu bisa diminum?”, tanyaku. ”Ya, tentu saja bisa, sebentar akan aku ambilkan”, jawab Anak Hutan sambil mengambil kantung semar itu.
     Segar juga rasanya setelah melepas dahaga, staminaku mulai terisi kembali. Kami sudah berjalan hampir 3 jam menelusuri hutan ini, sambil terengah-engah karena lelah, aku dan Anak Hutan masih meneruskan perjalanan. Melewati semak belukar yang  sangat lebat membuat badanku gatal tak tertahankan, ditambah lagi aku yang tidak memperhatikan pijakan malah terperosok kedalam lubang setinggi 3 meter, untung saja ada Anak Hutan yang sigap dan langsung melemparkan tali dan mengikatkanya dipohon sebagai pegangan untuk mengangkatku keluar dari lubang itu.
     Matahari mulai mencapai puncaknya, cahayanya tertahan oleh sela-sela dedaunan dan cabang-cabang pepohonan yang tinggi-tinggi membuat perjalananku dan Anak Hutan kehilangan jarak pandang, semakin masuk ke tengah-tengah hutan, pandangan ku semakin lama semakin memudar, aku hanya bisa berjalan dengan sedikit melihat keadaan dan dituntun oleh panduan dari Anak Hutan sambil memegangi tanganku dan memastikan agar aku tidak terperosok seperti tadi, apalagi tersesat didalam hutan gelap gulita ini. Heran rasanya aku kepada Anak Hutan yang bisa melihat dengan baik di pedalaman hutan seperti ini.
    Entah sampai kapan aku bisa melangkahkan kaki ini , kurasa aku sudah tidak sanggup lagi menahan letih yang menumpuk pada kedua kaki ku ini. Ditambah perut yang sedari tadi berbunyi berteriak mengemis kepada mulut agar diberi makan. Bunyinya semakin lama berbengaruh kepada seluruh anggota tubuhku yang lainya, pundak ku ikut melemas, kaki dan tanganku tak sanggup lagi rasanya untuk menopangku dan menjaga keseimbangan tubuhku ini, kepala pun tak mau kalah manjanya dengan anggota badanku yang lain, bukanya berusaha menenangkan mereka, dia malah memperparah kondisiku dengan memukul-mukul membuat kepala ku ini jadi pusing dibuatnya. “Oh, Anak Hutan, aku sudah tidak sanggup lagi, lebih baik kita istirahat sejenak sambil memakan sesuatu untuk mengganjal perut ini”, keluh ku memelas. ”Baiklah jika kau ingin istirahat, tapi bukan disini, kita berjalan dulu kearah sana sampai mendapatkan pencahayaan matahari yang baik”, kata Anak Hutan menyetujui.
     Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya kami sampai diujung hutan ini. Matahari pun kembali menemani kami, sambil memberikan kehangatan yang membuat nyaman. “Akhirnya aku bisa melihat matahari lagi”, kataku senang. ”Okto, kau bisa tunggu sebentar diatas dahan pohon itu, aku akan mencarikan makanan”, perintah Anak Hutan. ”Baikah Anak Hutan, aku akan menunggu di pohon itu, dan tolong makanannya jangan yang mejijikan, oke?”, pintaku ke Anak Hutan”. ”Tenang saja, akan aku carikan makanan yang bisa mengenyangkan perut kau itu”, jawab Anak Hutan, ”Dan satu lagi, kau tidak boleh pergi dari pohon itu sampai aku kembali. Mengerti?”, perintah Anak Hutan. ”Ya aku mengerti”, jawabku sekenannya.
     Anak Hutan pun pergi meninggalkanku mencari makanan untuk kami. Sekarang aku sendirian termenung bosan diatas dahan pohon besar ini, sambil melihat keadaan sekitar, tapi yang kulihat hanya ada pohon, pohon, pohon, dan pohon. Lebih baik sekarang aku tidur sejenak sampai Anak Hutan kembali lagi kesini.
     “Humpp puahh”. Sudah berapa lama ya aku tertidur?. Anak Hutan belum datang juga?. Masih dalam keadaan pusing karena baru bangun tidur, aku berusaha turun dari dahan pohon ini. Setelah kakiku sampai diatas tanah, aku menggangkat tangan ku ke atas sambil menguap lebar dan menggerakkan pinggangku kekanan dan kekiri agar tubuh ini tersadar dari lelapnya dan bisa kukendalikan dengan leluasa. Aku pun mulai berjalan mencari Anak Hutan yang tak kunjung datang. Mulai kulangkakan kaki ke arah hutan yang tadi Anak Hutan masuki. Keadaanya sangat gelap, aku hanya menelusuri pinggiran hutan saja, karena aku tak berani masuk lebih dalam lagi.
     “Anak Hutan, Anak Hutan, kamu dimana?!”, teriakku mencari Anak Hutan.“Huff.. memangnya dia mencari makan kemana sih?”, kataku cemas. Sudah sekitar 10 menit aku berjalan tapi batang hidung Anak Hutan tidak kunjung kelihatan. Sampai akhirnya aku tiba pinggir hilir sungai, sungai itu kelihatan sangat jernih dan bersinar karena terpantulkan oleh cahaya matahari. Arusnya tidak terlalu deras, tidak juga lambat, aliran airnya sangat halus. Melihat air yang jernih ini rasanya aku ingin sekali mandi, karena beberapa hari ini badanku sangat kotor serta bau badan menambah perderitaanku. Aku pun menceburkan diriku kedalam sungai itu. Airnya tidak terlalu dalam, dan tidak terlalu dangkal juga. Seluruh tubuhku rasanya segar sekali, air memang segala-galanya bagi kehidupan manusia.
     Segar rasanya setelah mandi, akupun meneruskan mencari Anak Hutan. Oh iya, seingatku hilir sungai yang ada dihutan atau pegunungan biasanya terhubung sampai kedaerah pedasaan, bagaimana kalau aku mengikuti arus air ini, mungkin saja aku bisa langsung sampai desa dan menumpang sampai ke kota. Sungai ini panjang sekali, dari tadi aku belum melihat ujungnya. Sampai setibanya aku di antara bercabangan sungai. Entah mengapa tumbuhan yang ada dipinggiran cabang sungai itu hingga terusanya sudah mati, bahkan tumbuhan yang berada dekat sungai itu semuanya layu. Kejadian aneh apa ini sebenarnya, heran aku, padahalkan air itu justru menghidupkan tumbuhan-tumbuhan itu. Akupun diam sejenak di batu dekat sungai sambil mengamati kejadian aneh itu.
     Masih termenung dalam lamunan tiba-tiba saja sebuah suara mengagetkanku. “Apa kau sudah menemukan jawabanya?”, tanya seseorang. Dengan kaget pandanganku langsung mengarah kesal suara itu. “A, Anak Hutan, dari mana saja kau?, aku sudah lama sekali menunggumu dan kamu tidak kunjung datang, makanya aku keliling hutan untuk mencarimu”, kataku masih dalam keadaan panik. “Sebenarnya dari tadi aku memperhatikan kau sambil bersembunyi dan mengikuti kau sampai kesini”, terang Anak Hutan tenang. “Kamu ini bagaimana sih, aku panic setengah mati takut ditinggal olehmu dihutan ini”, marahku kesal. “Hahaha, maaf-maaf, sudahlah lupakan, lebih baik sekarang kita kedesa disebelah sana, kau laparkan?”, kata Anak Hutan. “Iya aku memang sangat lapar”, kataku malu. “Kalau begitu cepat ikut aku”, Ajak Anak Hutan.
     Setibanya disuatu desa yang tidak terlalu jauh dari sungai tadi, aku dan Anak Hutan langsung memasuki sebuah rumah yang tidak terlalu kecil dan tidak juga besar. Didalamnya terdapat banyak sekali sample dedaunan, perkakas didalam rumah itu serba kayu, benar-benar terlihat alami. Aku pun duduk di sebuah sofa yang terbuat dari rotan, Anak Hutan langsung menyediakan makanan dan teh hangat untukku. Mungkin ini rumah milik Anak Hutan.
     Setelah makan, aku diajak Anak Hutan memasuki salah satu ruangan didalam rumah itu. “Ini tempat kau tidur mala mini”, kata Anak Hutan sambil menyiapkan alas tidur untukku.”Terima kasih Anak Hutan”, jawabku sambil tersenyum.”Kau harus cepat tidur, karea besok pagi kita akan langsung berangkat ke Kota”, perintah Anak Hutan ramah.”Benarkah?, baiklah aku akan segera tidur”, jawabku senang.
     Malam itu terasa sangat nyaman. Bukan didalam hutan lagi, tapi disebuah kasur kapuk yang walaupun tidak terlalu empuk, tapi begini sudah cukup atas apa yang sedang kualami saat ini. Sekarang hatiku tenang dan tidak resah karena sebentar lagi aku akan keluar dari kondisi ini.”Jadi tidak sabar menunggu esok hari”, bisikku sambil menutup mata.
     “Okto bangun, matahari sudah nampak, lekaslah mandi airnya sudah ku siapkan, dan mobil untuk kau berangkat kekota juga sudah siap”, kata Anak Hutan menyadarkanku dari mimpi.”Sungguh?, baiklah aku akan bersiap-siap, tapi kenapa mobilnya hanya untukku, apa kamu tidak ikut Anak Hutan?”, kataku senang sambil keheranan.”Iya aku tidak ikut kau kekota, karena masih banyak yang harus aku kerjakan disini”, jelas Anak Hutan.”Begitu rupanya, baiklah Anak Hutan”, jawabku sekenannya.
     Mesin mobil pun dinyalakan, aku dan pak Wasto yang akan mengantarkanku hingga tiba dikota pun duduk dikursi bagian depan, bersiap-siap untuk berangkat. “Anak Hutan, terima kasih karena sudah menolongku sampai sejauh ini, pengalaman berharga ini tidak akan aku lupakan seumur hidupku dan akan aku ceritakan terus-menerus keanak cucuku kelak”, Teriakku gembira.”Ya Okto, kau baik-baik saja ya, hati-hati dijalan, kelak kita akan kembali lagi”, balas Anak Hutan dengan semangat. Sedih dan bahagia bercampur aduk didalam hatiku, sedih karena harus berpisah dengan orang hebat seperti Anak Hutan, dan gembira karena bisa kembali lagi ke Jakarta. “Mungkin, kapan-kapan aku akan membawa istri dan anakku kedesa ini kelak dan bertemu lagi dengan Anak Hutan”, bisikku sambil tersenyum membayangkan saat hari itu tiba.
     Akhirnya mobil kami pun berjalan. Disepanjang perjalanan aku sesekali mengobrol dengan pak Wasto tentang hutan dan masyarakat desa itu, banyak sekali cerita-cerita menarik yang terjadi didesa itu, dari jaman belanda hingga masa revolusi. “Wah hebat sekali ya pak, tidak saya sangka ternyata desa terpencil dikaki gunung punya sejarah yang luar biasa”, kataku kagum.”Ya, memang begitulah pak Okto, kami memang terpencil dipelosok gunung, tapi mengenai kehidupan modern jangan kira kami tertinggal, kami juga mengikuti arus perekonomian dan perpolitikan terkini”., terang pak Wasto sambil tertawa.
     Perjalanan menuruni gunung dan perbukitan akhrinya selesai sampai dijalan utama. Akhirnya kami sampai dikota, daris ini aku berpamitan dengan pak Wasto dan mengucapkan banyak terimakasih karena telah mau membantuku. Dari sini aku langsung mencari rumah sakit tempat pak Aryo supirku dirawat. Disana aku bertemu dengan pak Aryo dan Syeila serta beberapa stafku yang lainya, lalu kami pun kembali ke Jakarta setelah kondisi pak Aryo membaik. Setibanya di Jakarta, aku langsung pergi kerumah dan menemi istri dan anakku tak lupa menceritakan pengalamanku bberapa hari yang lalu. Esoknya seperti hari-hari normalku,yaitu pergi ke gedung perusahaanku, para staf dan karyawan kepercayaanku semuanya berkumpul dan mendiskusikan masalah yang terkait dengan masyarakat dekat pabrik kami. Dan kami pun mendapatkan surat persidangan dari menteri kehutanan.
     Dengan gugup dan panik, aku pun memasuki ruang persidangan, suasananya sangat hening tapi terasa sekali aura dari sang hakim yang menekanku. Sampai tiba-tiba seseoang masuk kedalam ruang persidangan, dengan setelan jas hitam rapih, dengan kemeja putih perbalut dasi yang elegan, dan juga sepatu pentople yang mengkilap duduk ditempat yang seharusnya menteri kehutanan tempati. Dan saat kulihat dan kuteliti lagi ternyata orang itu adalah “Anak Hutan?, itu kamu?”, tanyaku kaget tak percaya atas apa yang kedua mataku ini perlihatkan kepadaku.”Hai Okto, apa kabar, sepertinya kamu baik-baik saja”, jawab Anak Hutan dengan akrab.”Anak Hutan, apa yang sedang kamu lakukan disini, dan logat bicaramu, kenapa berbeda?”, tanyaku lagi sangat penasaran dan keheranan.”Tentus saja aku disini untuk hadir dalam persidangan sebagai penuntut perusahaanmu, dan kenalkan namaku Zulkifli Hasan, menjabat sebagai perdana menteri kehutanan”, jawab Anak Hutan sambil tersenyum.”Apa?, menteri kehutanan?, jadi selama ini yang menolongku dan membantuku hingga akhirnya aku bisa sampai ditempat ini adalah menteri kehutanan?”, tanyaku panic dan gelisah.”Benar Okto, begitulah adanya, tapi kita sebenarnya hanya kebetulan bertemu karena kecelakaan waktu itu, dan aku memang sedang melakukan penelitian mengenai air sungai yang terkena limbah pabrik darimu”, jawab Anak Hutan.
     Diam mematung tak dapat berkutik, pikiranku sudah gelap, tak dapat lagi berbuat apa-apa. Seketika air mataku pun satu persatu mengalir dari kelopak mataku, dan disaat itu pula sambil mengangis dengan sepenuh hati terdalam aku berkata,”Anak Hutan apakah kau tahu, mungkin pertemuan kita ini adalah takdir bukan sembarang takdir, Karena hatiku sudah tercerahkan oleh kebenaran, maka dari itu aku akan mengerahkan setenga hartaku untuk membayar atas apa yang telah ku perbuat, aku akan membangun sistem penyaringan dan membuat lembaga untuk pelestarian lingkungan”. “Benarkah Okto?, baiklah kalau begitu siding ini tak perlu dilajutkan, kita sudah mendapatkan jawabanya”, respon Menteri Kehutanan gembira.
....
     Beginilah jadinya jika lingkungan yang telah diamanahi oleh Allah S.W.T. kepada kita malah kita rusak sendiri dengan tangan-tangan tidak bertangung jawab, Allah S.W.T. pasti akan menangani dengan kuasanya, mempertemukan takdir yang tidak diduga dan dibayangkan sebelumnya, hingga terbentuklah kesadaran hati dari hati yang telah membeku menjadi cair dan penuh dengan gemerlap kemilang cahaya. 


Oleh: Fatih Muhammad Fakhri Al-Mubarak 
Peserta Lomba Cerpen PERHUTANI 2013



Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung di smartgeo

Lebih baru Lebih lama