smartgeo.id - Seperti yang kita ketahui bahwa kecelakaan pesawat bukanlah hal yang pertama kali di Indonesia. Sebelumnya, sejumlah kecelakaan pesawat pernah melanda maskapai penerbangan Indonesia, baik yang memakan korban maupun tidak. Berdasarkan data Komisi Keselamatan Transportasi Nasional (KNKT), kecelakaan penerbangan terbagi menjadi dua kategori yaitu kecelakaan dan insiden serius. Kecelakaan mengacu pada kejadian tak terduga terkait dengan pengoperasian pesawat sejak lepas landas hingga pendaratan yang mengakibatkan korban jiwa. Sedangkan insiden serius mengacu pada kecelakaan yang bersifat operasional tetapi tidak menimbulkan korban jiwa (Pakan, 2008).



Cuaca adalah Urutan Ketiga Penyebab Kecelakaan

Secara umum kecelakaan pesawat udara dapat disebabkan oleh empat faktor yaitu manusia, teknis, lingkungan, dan fasilitas. Berdasarkan data investigasi kecelakaan penerbangan tahun 2010-2016, kecelakaan pesawat terbang terbesar yang disebabkan oleh faktor manusia adalah 67,12 persen . Meski begitu, faktor lingkungan tidak bisa diabaikan karena faktor cuaca menempati urutan ketiga yaitu 12,33 persen, seperti turbulensi, wind shear, badai, dan penyebab kecelakaan pesawat lainnya di Indonesia (KNKT, 2016).

Gambar:Investigasi Kecelakaan Penerbangan Tahun 2010-2016 
Sumber: http://psta.lapan.go.id/


Penyebab Kecelakaan Meteorologi

Terdapat beberapa parameter meteorologi yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat baik pada saat take off, dalam penerbangan maupun landing , sehingga parameter meteorologi seringkali menjadi beban kerja dan beban mental bagi pilot. Parameter meteorologi yang paling dominan membebani pilot dan awak selama penerbangan adalah angin, jarak pandang atau visibilitas, dan stabilitas atmosfer (Abadi Dwi Saputra, 2015).

Perubahan arah dan kecepatan angin saat dan landing berupa downburst dapat menghantam pesawat sehingga mengganggu posisi dan pergerakannya. stabilitas. Keterbatasan jarak pandang atau visibilitas juga berpotensi menimbulkan kesalahan fatal seperti kasus pesawat Sukhoi SSJ 100 yang jatuh di Gunung Salak pada tahun 2012 (Kompas, 2012). Kestabilan atmosfer juga menjadi penyebab terjadinya kecelakaan penerbangan karena berkaitan dengan keberadaan awan sehingga menimbulkan turbulensi.


Clear Air Turbulence (CAT)

Salah satu turbulensi terkuat yang menipu namun bisa berakibat fatal bagi pesawat adalah fenomena Clear Air Turbulence (CAT). CAT adalah turbulensi berat yang terjadi tiba-tiba di area tak berawan yang menyebabkan hentakan keras di pesawat seperti turbulensi di awan cirrus, di dalam dan di sekitar awan lentikular dan di udara bersih di sekitar badai. CAT tidak termasuk turbulensi yang disebabkan oleh badai, inversi suhu rendah, panas, angin permukaan yang kuat, atau fitur medan lokal (SKYbrary, 2018).

Secara umum, CAT disebabkan oleh medan dan aliran jet. Faktor medan berkaitan dengan permukaan yang dapat mengganggu aliran horizontal udara di atasnya dan menyebabkan turbulensi. Tingkat keparahan turbulensi tergantung pada kekuatan aliran udara, kekasaran medan, laju perubahan dan kelengkungan kontur, dan ketinggian dataran tinggi di atas dataran sekitarnya.

Selain itu, badai petir yang kompleks juga dapat menjadi penyebab CAT karena adanya Cloud Cell (Cb) Cumulonimbus yang memiliki arus vertikal yang kuat. Berdasarkan data insiden gangguan pesawat, CAT memiliki ketinggian sekitar 5.000 kaki di atas puncak Cb. Sedangkan jet stream sering dijumpai di lintang tinggi yaitu arus udara yang bergerak cepat dan sempit, biasanya di dekat lapisan tropopause (lapisan batas troposfer dan stratosfer-red) yang dihasilkan oleh gradien suhu antar massa udara. .

CAT dapat berdampak pada kerusakan struktur pesawat, kecelakaan fisik awak pesawat atau penumpang, dan terganggunya kinerja awak pesawat. Kecelakaan pesawat yang pernah terjadi akibat CAT di Indonesia adalah pesawat Airbus A330-200 (Etihad Airways EY 474) pada 4 Mei 2016 di sekitar Pulau Bangka. Pesawat dengan 24 penumpang dan 7 awak itu mengudara dari Bandara Internasional Abu Dhabi menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta berdasarkan laporan Kompas.com (Nistanto, 2016) melalui penumpang yang menjadi korban kecelakaan pesawat. Sekali lagi CAT merupakan jenis turbulensi yang sulit dideteksi bahkan oleh pilot karena terjadi secara tiba-tiba di langit cerah tanpa awan.


Bersihkan Turbulensi Udara

CAT dapat berdampak pada kerusakan struktur pesawat, kecelakaan fisik awak pesawat atau penumpang, dan terganggunya kinerja awak pesawat. Kecelakaan Pesawat yang Pernah Terjadi Akibat CAT di Indonesia yaitu Pesawat Terbang, Bagaimana Cara Mendeteksi CAT? CAT dapat diidentifikasi dengan menghitung bilangan Richardson (Ri). Faktanya, Ri biasanya digunakan sebagai metode untuk memprediksi CAT pada sebagian besar level penerbangan pesawat komersial dan militer. Besaran Ri menunjukkan kemampuan atmosfir dalam mempertahankan turbulensi dengan menghitung perbandingan antara statik dan geser angin (wind shear) secara vertikal.  Sekali lagi CAT merupakan jenis turbulensi yang sulit dideteksi bahkan oleh pilot karena terjadi secara tiba-tiba di langit cerah tanpa awan (Keller, 1981).

Ri memiliki bilangan rendah saat wind shear tinggi, sedangkan Ri tinggi bila stabilitas tinggi di stratosfer (Office, 2004). Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa Ri berguna untuk memprediksi turbulensi, terbukti dengan nilai ambang batas perhitungan mendekati 4, melebihi titik kritis (Rc = 0.25) yang membuktikan bahwa terjadi turbulensi mendadak atau mendadak yang dikenal dengan CAT (Widseth & Morss, 1999) .


Downburst dan Microburst

Gambar:Downburst and Microburst
Sumber: http://psta.lapan.go.id/

Microburst sering dikaitkan dengan awan kumulus dan Cb. Namun, tidak semua jenis awan ini akan menghasilkan ledakan mikro, sehingga sulit untuk mendeteksi mokroburst.  Berdasarkan penelitian sebelumnya, dopler radar dapat digunakan untuk mendeteksi di dalam awan konvektif dan pergerakan udara sehingga dapat menyiagakan potensi ledakan mikro. Selain itu, metode radar Wind-Vector Potential-Temperature Energy (WPEA) dan X-band dual-polarization juga dapat digunakan untuk menganalisis karakteristik formasi downburst (Wang et al. 2018) dengan melakukan kombinasi analisis berdasarkan data observasi konvensional dan analisis kondisi lingkungan yang memicu terjadinya downburst.


Sumber:

http://psta.lapan.go.id/index.php/subblog/read/2018/391/CUACA-TENANG-SAAT-KECELAKAAN-PESAWAT-LION-AIR-JT-610/srirama.sains.lapan.go.id

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung di smartgeo

Lebih baru Lebih lama