smartgeo.id - Menurut Sriyono (202014: 149-154) Sejarah geologi Dataran Tinggi Bandung dirnulai sejak kala  Miosen (20 juta tahun yang laiu). Pada waktu itu pesisir utara Jawa  purba terletak di sebelah selatan, yaitu di sekitar Pangelangan. Daerah sebelah utara Pangelangan pada saat itu masih merupakan lautan, dimana terjadi pembentukan atau pengendapan berbagai macam batuan sedimen. Bukit sedimentasi yang terjadi pada saat itu, dapat dilihat di daerah Purwakarta yang tebalnya sampai beberapa ribu meter. Sedimen ini terdiri dari tanah liat, batu karang,  batu kapur, tufa dan sebagainya. Di sekitar Bandung endapan ini hanya terdapat di beberapa tempat saja, karena kebanyakan telah 

tertutup oleh bahan-bahan vulkanik yang terbentuk kemudian.  Berdasarkan fosil yang dijumpai dalam sedimen ini, menunjukkan usia kala Miosen. Pada zaman ini dinamakan zaman tenang (evalusioner),  karena tidak terjadi proses perubahan yang cepat, selain proses sedimentasi. 



Sesudah zaman tenang, terjadilah perubahan yang sifatnya revolusioner yaitu pada zaman Pra-Kwarter. Pada zaman ini di dalam bumi terjadi gerak-gerak yang memeras dan mengangkat batuan sedimen yang dibentuk pada kala Miosen. Oleh sebab itu terjadi pegunungan yang muncul di atas permukaan laut. Dengan bentukan pegunungan, maka daratan Jawa purba bertambah luas ke sebelah utara dan sebelah selatan. Dasar laut purba sebelah  selatan Pangelangan terangkat dan garis pantai bergeser menjauhi  garis pantai semula. 

Gejala permulaan zaman kwarter (kala Pleistosen) aktivitas vulkanis berpindah ke sebelah utara, yaitu ke tempat Gunung Tangkubanprahu sekarang. pada waktu itu Gunung  Tangkubanprahu belum ada, tetapi yang ada Gunung sunda dengan parasiter Gunung Burangrang yang terletak di lereng  sebelah barat, dan Gunung Bukit Tunggul, Gunung Palasari, Gunung Canggak yang terletak di lereng sebelah timur. Gunung-gunung api tersebut sekarang sudah padam.  Gunung Sunda yang baru ada diperkirakan mempunyai  ketinggian antara 2.000-3.000 meter dpal, dengan garis  tengah kaki pada arah barat-timur kurang lebih 20 km. Selama  aktivitasnya, Gunung Sunda memuntahkan material vulkanik  yang tersebar ke segala arah. Aliran ke utara menuju daerah Subang, sedangkan ke selatan menuju daratan tingéi Bandung. Pada waktu itu dataran tinggi Bandung belum mempunyai bentuk datar seperti sekarang. Sesudah beberapa lama Gunung Sunda bekerja, akhirnya  terjadi letusan yang hebat, sehingga bagian dari puncaknya  runtuh. Runtuhnya puncak vulkan menyebabkan terjadinya  kaldera, yang sisa dinding kaldera itu sekarang masih dapat dilihat  di tepi Danau Situlembang berupa lereng yang terjal. Ketinggian lereng ini semula diduga antara 200-300 m, tetapi sekarang tidak  setinggi itu, karena sudah mengalami proses erosi.  Berdasarkan fosil-fosil vertebrata yang terdapat pada lahar  Gunung Sunda, dapat diketahui usia terjadinya letusan yaitu pada  zaman Kwarter Tua. Tempat diketemukan fosil tersebut adalah  sebelah barat Cimahi (tempat penyayatan Sungai Citarum). 

 Akibat letusan Gunung sunda, selain terbentuknya kaldera juga terjadi pula retakan yang mernanjang dengan arah barat- timur dan lubang kepundan mengalami kekosongan. sesudah terjadi letusan Gunung sunda, dalam kerak bumi terjadi  gerak naik turun. Tubuh Gunung Sunda sebelah selatan mendesak ke utara dengan membentuk patahan, yang mengisi sebagian lubang kepundan yang kosong. Terjadinya patahan merupakan gerak lengser yang mendesak ke arah utara, sehingga menyebabkan terjadinya pengerutan sedimen. Hasil pengerutan sedimen ini berupa punggungan Tambakan di Subang. Proses patahan di lereng sebelah selatan menyebabkan penurunan di bagian utara  setinggi 450 meter, sedangkan di bagian selatan tetap tinggal pada tempatnya. Bukti adanya gerakan patahan ini dapat dilihat pada bekas aliran'lava Gunung Sunda yang terpotong sehingga merupakan Bukit Batu dengan lereng vertikal yang menghadap ke utara, yaitu  di sebelah selatan Lembang dan Batu Gantung di sekitar Maribaya.  Tebing patahan ini sepanjang 20 km, mulai dari Cibodas (timur)  sampai Cisarua (barat). Pada tebing dekat Cisarua terdapat cermin  gesekan. Ketinggian tebing patahan ini di sebelah timur lebih tinggi  dari sebelah barat, bahkan tebing patahan yang terletak di sebelah  barat telah banyak tertutup oleh lapisan sedimen. Tebing patahan itu  tidak merupakan tebing yang tersambung secara baik, namun pada  beberapa tempat tersayat lembah sungai, seperti lembah Sungai  Cikapundung di Maribaya, lembah Sungai Cipaganti, lembah sungai  Ciheundeung di sebelah barat Lembang. Patahan ini terkenal dengan  nama Patahan Lembang.  Sesudah terjadi erupsi Gunung Sunda pada zaman Kwarter  Tua yang membentuk Kaldera, retakan arah barat-timur, dan patahan Lembang segera disusul dengan intrusi magma melalui  12 titik erupsi pada retakan itu. Intrusi magma ini terjadi segera  sesudah terjadinya patahan L embang. Sebagai akibat erupsi pada  titik erupsi itu, terbentuklah gunung Tangkubanprahu.  

Gunung Tangkubanprahu letaknya agak ke sebelah timur pada kaldera Gunung sunda. Sepanjang sejarahnya Gunung Tangkubanperahu mengalami letusan yang dahsyat melalui  lubang-lubang kepundan yang berderet dari arah timur-barat.  Letusan-letusan gunung Tangkubanprahu dapat dibedakan menjadi 3 fase yaitu: erupsi I (A), erupsi Il (B), erupsi Ill (C) (Katili, 1960:217). 

Erupsi l, (A) sangat hebat dan mengeluarkan bahan-bahan eflata (bahan lepas), yang mengalir berupa aliran lahar dalam bentuk tufa slak. Arus lahar yang mengalir ke sebelah utara menuju daerah Sagalaherang, yang menuju ke sebelah selatan mengisi depresi Lembang. Aliran lahar ini tebentur pada dinding patahan, sehingga alirannya terbagi 2, ada yang menunju ke sebelah timur untuk selanjutnya keluar melalui lembah-lembah hasil penyayatan Sungai Cikapundung dan Sungai Cipaganti menuju dataran Bandung. Arus lahar yang mengalir sebelah barat tidak mengalami rintangan seperti yang mengalir ke sebelah timur, keran dinding patahan di sebelah barat tidak tinggi, karena  dinding patahan di sebelah barat tidak tinggi, sehingga arus lahar dapat mengisi depresi Lembang dan mengalir terus menuju daerah Cimahi dan Padalarang. 

Aliran Sungai Citarum pada waktu itu tidak seperti sekarang, tapi mengalir sebelah utara Cimahi, kemudian membelok ke  jurusan Padalarang. Bekas lembah Sungai Citarum yang dahulu, sekarang masih dapat dilihat, yaitu lernbah lebar dialifi sungai  Cimeta dekat Padalarang. Sebagai akibat dari adanya aliran lahar menuju ke sebelah barat ini, terbendunglah aliran Sungai Citarum dekat Padalarang, sehingga terbentuk Danau Bandung. Selama erupsi yang besar, daerah Bandung telah dihuni oleh manusia.  Bukti adanya kehidupan manusia pada saat itu, di beberapa tempat ditemukan benda-benda perkakas yang diduga berumur Neolotikum. Perkakas tersebut ditemukan dekat Palasari, di  sekitar gunung Malabar dan di Dago. Batuan yang digunakan untuk perkakas adalah batuan Obsidian, yang diduga berumur 3.000-6.000 tahun yang lalu. Ketinggian tempat diketemukan perkakas purba itu hampir sama. Hal ini membuktikan bahwa pada saat itu manusia menempati tempat-tempat yang berada di atas batas permukaan Danau Bandung. 

Pada tepi sebelah barat Danau Bandung terdapat kompleks batuan gamping, yang mudah sekali larut oleh air. Dengan proses pelarutan, celah-celah pada batu gamping diperlebar. Dengan demikian air Danau Bandung mendapatkan jalan keluar melalui  sungai bawah tanah. Sekarang sungai bawah tanah itu sudah tidak bisa dilihat seluruhnya, karena atap sungai padabeberapa tempat sudah roboh. Yang masih dapat dilihat hanya sebagian saja, yaitu Sungai Sangiang Tikoro dekat Rajamandala. Di sini Sungai Citarum terbagi 2, yang sebelah barat mengalirbiasa di permukaan, sedangkan cabangnya mengalir di sebelah timur masuk ke dalam celah yang besar membentuk aliran sungai bawah tanah yang kernudian di bagian hilir bergabung kembalike Sungai Citarum, Sesudah air Danau Bandung memperoleh jalan keluar melalui sungai bawah tanah tadi, dan keringlah Danau Bandung itu. 

Erupsi Il (B) terjadi sesudah ledakan hebat pada erupsi l. Di dalam kerak bumi terjadi gerak-geräk yang membentuk patahan yang berbentuk corot. Dengan pembentukan retakan dalam gunung api, maka keluar bahan-bahan dalam bentuk cair, yang disebut lava. Aliran lava basaltis mengikuti jalan aliran lahar dari erupsi "A". Aliran pada lembah Sungai Cikapundang berhenti di daerah Dago, sehingga membentuk air terjun Dago. Pada tebing air terjun ini sekarang dapat dilihat adanya lapisan batuan beku yang berbeda, yaitu lapisan bawah terdiri dari batuan andesit,  sedangkan lapisan atasnya terdiri dari batuan basalt. Di Maribaya terdapat pula air terjun, yang terdapat pada tepi bekas aliran  lava tadi. Kedua air terjun itu telah mengalami perpindahan dari  tempat penerjunan asalnya, karena sepanjang sejarah terjadi  proses erosi ke hulu. 

Aliran lava yang mengalir ke sebelah barat, mendapat pelepasan pada lembah sungai kecil yang terdapat di daerah ini. Aliran lava Yang mencapai sungai Cimahi membentuk air terjun Cimahi, yang terdapat pada tepi aliran lava. Ketinggian air terjun  30 meter. Airterjun Iainnya terdapat di sebelah barat adalah Curug Panganten dan Curug Sigay. Di sebelah utara 'aktivitas lava sangat besar yang keluar  sewaktu peledakan Gunung Cinta, Malang dan Iainnya. Oleh pergantian bahan efiata dan lava, maka Gunung TangkubanperahU merupakan gunung api berlapis. Ciri adanya perlepasan tersebut, sekarang masih dapat dilihat pada tebing selatan kawah Ratu di gunung Tangkubanprahu. Lava erupsi "B" ini susunannya basalt,  berlainan material Gunung Sunda dan Burangrang yang bersusun andesit.

Sumber: Sriyono. 2014. Geologi dan Geomorfologi Indonesia. Yogyakarta: Ombak 


Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung di smartgeo

Lebih baru Lebih lama